Rabu, 08 Oktober 2008

UNTUK HARGA DIRI BANGSA

UNTUK HARGA DIRI BANGSA


Bahwa benar kemerdekaan yang berperi-kemanusiaan dan berperi-keadilan sebagai hak segala bangsa telah dikumandangkan pada 17 Agustus 1945.
Bahwa benar, demi melindungi segenap bangsa Indonesia serta seluruh Tumpah Darah Indonesia, memajukan kesejahteran umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, telah disusun Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan / Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Bahwa benar, sepanjang 63 tahun sejak merdeka, setiap rezim yang pernah berkuasa (Orde Lama, Orde Baru dan rezim Reformasi) dengan kelebihan dan kekuarangan masing-masing dari waktu ke waktu telah terus menerus menjauhkan rakyat dari apa yang dicita-citakan para pendiri bangsa, yang membuahkan Indonesia yang saat ini mengalami kekacauan ekonomi, korup, menuai hutang dan melahirkan kemiskinan.
Bahwa benar, kehilangan utama bangsa ini baik bagi rakyat terutama di mata dunia adalah “hilangnya harga diri bangsa”, dan tidak ada jalan mengatasi keterpurukan itu, selain mengajak semua pihak untuk bangkit dan mendudukkan kembali apa yang menjadi dasar kita berbangsa dan bagaimana serta oleh siapa bangsa ini layak di kelola kedepan.


LATAR BELAKANG
Tigapuluh dua tahun strategi pembangunan dan politik Orde Baru memaksakan budaya penyeragaman, melumpuhkan peran masyarakat adat dan kekayaan budaya yang dimiliki Indonesia. Hukum-hukum adat yang memiliki filosofi ‘budaya malu’ tersingkir, sementara penegakan hukum Negara secara sistematis diintervensi dan jadi lemah, tidak mampu melindungi rasa keadilan masyarakat. Dengan segala cara Orde Baru membutakan masyarakat dari seluruh sepak terjang pemerintah. Secara intelektual pemahaman rakyat tentang sejarahnya dikacaukan; hak-hak ekspresi rakyat direnggut hingga kehilangan peluang menjadi masyarakat cerdas yang visioner dan memiliki integritas. Orde Baru terus berkembang menjadi penguasa yang otoriter. Digunakan sebagai alat melucuti hak-hak politik rakyat dan mematikan demokrasi, militer diposisikan menjadi musuh rakyat. Tigapuluh dua tahun – kekuasaan Orde Baru pada akhirnya hanya membuahkan sebuah bangsa yang ambruk secara ekonomi, korup, menuai hutang dan melahirkan kemiskinan.
Reformasi 1998, sejatinya adalah ‘harapan perubahan’. Ia seharusnya diikuti langkah-langkah strategis mengevaluasi dan memperbaiki semua kerusakan yang dilakukan Orde Baru, merumuskan konsep pengelolaan negara yang bersih yang berpegang pada UUD 1945 dan ideologi bangsa, Pancasila. Demokrasi sebagai sumbangan terbesar reformasi harusnya dijadikan sebagai alat menghentikan korupsi dan politik uang, mengangkat kembali budaya-budaya lokal, mengembalikan karakter gotong royong dan sifat solider masyarakat. Dan kalau sekarang, setelah 10 tahun reformasi bangsa ini justru semakin bangkrut secara ekonomi, rakyat semakin kehilangan kedaulatan, goyah secara persatuan, terancam secara budaya, miskin dan rentan chaos sosial, itu tentu karena ada kesalahan sangat substansial telah dilakukan para penyelenggara negara era reformasi dalam menyikapi reformasi, terutama dalam hal pembangunan demokrasi yang hanya fokus pada demokrasi politik, tapi tidak sama sekali menyentuh demokrasi ekonomi, sosial dan budaya.
Tidak adanya kesungguhan mengusut/menghukum para pelaku kejahatan (ekonomi, politik dan kemanusiaan) di masa Orde Baru, membuat mereka yang diduga terlibat kejahatan justru ikut berperan dalam pengelolaan negara dan itulah yang membuat upaya mengevaluasi kebijakan-kebijakan strategi ekonomi Orde Baru menjadi nihil. Ditekan oleh kekuatan eksternal, Negara justeru meneruskan kebijakan ekonomi Orde Baru yang menghamba pada kekuatan asing, mendewakan pertumbuhan ekonomi melalui investasi modal, menempatkan peran pasar di atas peran negara dan masyarakat, menjadikan korporasi lebih penting dari sektor publik, sebuah kebijakan yang mengabaikan aspek pemerataan kesejahteraan, yang mendudukkan mayoritas pengusaha Indonesia menjadi pengusaha kelas dua sekaligus menyudutkan rakyat secara keseluruhan. Pilihan atas kebijakan ekonomi yang akrab dengan kekuatan modal besar itu terus berlanjut hingga empat pemerintahan era reformasi. Untuk memenuhi pilihan itu sejumlah undang-undang disusun, seperti UU Migas 22/2001, UU Kelistrikan, UU Pendidikan / BUMN, UU Perbankan, UU Sumber Daya Air, dan diikuti dengan dicabutnya sejumlah subsidi bagi kepentingan hajat hidup orang banyak, termasuk subsidi BBM dan pangan. Aset negara dalam bentuk BUMN diprivatisasi dan menguntungkan korporasi asing, baik keuntungan finansial, termasuk penguasaan instalasi strategis seperti telekomunikasi, perbankan, dan transportasi. Sebuah kerangka kebijakan yang sudah tentu akan menyudutkan rakyat dan menghadapkan bangsa Indonesia pada berbagai persoalan yang menyesakkan dada. Mulai dari kekurangan pangan, gizi buruk, meningkatnya angka kematian ibu & anak, kelangkaan migas, kekerasan, korupsi, kriminalitas. Para pemilik tanah dihadapkan pada negosiasi tak seimbang dengan investor jalan tol yang didukung aparat dan calo-calo tanah. Pengusaha kecil/menengah, industri kreatif dan industri rumah tangga tersudut oleh pasar bebas yang memungkinkan impor barang dalam skala masif. Permainan spekulan pasar dunia mendorong kenaikan harga bahan baku pangan, membuat biaya produksi para pengusaha gurem membengkak. Kegandrungan Pemerintah mendapatkan komoditas pertanian dari pasar internasional ketimbang melakukan pemberdayaan sektor pertanian membuat petani semakin tersisih, sementara nelayan yang menjerit karena harga BBM yang tak seimbang dengan penghasilan, mendorong mereka memilih menjadi buruh industri di kota-kota besar atau menjadi buruh di negeri orang.
Derasnya arus modal asing dalam perekonomian nasional juga melahirkan gaya hidup hedonistik dan cara pandang materialistik. Di saat hukum tunduk pada kekuatan modal, kemiskinan masif, budaya menghamba pada kekuatan uang mewabah, perilaku korup yang sudah terlanjur membudaya pun mustahil bisa dibendung. Kegiatan ekonomi disandera 30% biaya siluman. Suap di lembaga-lembaga penegak keadilan menjadi hal biasa, membuat rakyat semakin apatis, sementara narkoba menghantui kehidupan setiap keluarga. Tahun 2007, Transparency Internasional mencatat, indeks persepi korupsi Indonesia berada di urutan 143 dari 180 negara di dunia. Dalam situasi seburuk itu kualitas generasi mendatang menjadi pertaruhan. Masalah pendidikan yang dikonsep dalam kerangka proyek, tidak transparan dan tidak berpijak pada ide melahirkan anak-anak muda yang cerdas, kreatif, visioner dan punya integritas menjadi persoalan sangat mendasar. Masalah kesehatan menggangga, angka bunuh diri atau kasus orang tua membunuh anak sendiri meningkat. Di wilayah kecil seperti di Kabupaten Banyumas misalnya, selama Januari hingga April 2008, tercatat rakyat miskin yang melakukan bunuh diri mencapai 28 orang.
Kegagalan Negara memahami makna kebudayaan, memahaminya hanya sebagai benda, tari-tarian, gamelan atau baca puisi, merupakan indikator kuat gagalnya Negara memerdekakan rakyat dari belenggu ketidakadilan ekonomi, sosial budaya dan ekonomi yang sekaligus menyebabkan terjadinya pergeseran budaya, hilangnya nilai–nilai moral, harga diri, harkat dan martabat bangsa. Kebenaran menjadi sesuatu yang sangat langka. Tatanan ideal yang dicita - citakan para pendiri bangsa bergeser dari akar (substansi) yang seharusnya, tercerabut dari tempatnya. Agama, media massa, dunia kampus yang seharusnya berdiri sebagai tonggak penjaga nilai, berubah menjadi semata komoditas politik, ekonomi dan menjadi wahana selebritas. Tempat-tempat ibadah tak lagi menjadi tempat memperoleh kedamaian. Secara umum masyarakat menyikapi acuh tak acuh terhadap moral, namun sekaligus emosional. Penghormatan pada perbedaan yang menjadi salah satu prinsip agama pudar. Stabilitas nasional serta solidaritas berbangsa terancam. Kemajuaan teknologi komunikasi dan media massa yang di satu sisi kita butuhkan untuk kemajuan bangsa, justru mempercepat proses disintegrasi dan merangsang bermunculannya kecurigaan antar kaum. Masyarakat tak lagi menyadari perubahan perilakunya yang telah tercerabut dari akar budayanya sendiri. Budaya instan, konsumtif, budaya perdukunan, budaya saling curiga dan budaya kekerasan seolah menjadi ciri masyarakat kita dan korban terdepan dari seluruh perubahan perilaku itu adalah kaum perempuan dan anak-anak.
Seluruh kenyataan diatas secara tragis telah menabrak kepatutan tatanan politik dan menodai demokrasi. Demokrasi yang diperjuangkan dengan susah payah itu pada akhirnya tidak lebih hanya menjadi alat legitimasi kepentingan – kepentingan pemodal kuat dan kekuatan politik masa lalu yang dulu menyengsarakan rakyat dan hanya menghasilkan negosiasi politik (uang) yang berimbas pada pelemahan hukum dan keadilan. Atas nama demokrasi orang-orang yang diduga terlibat dalam kejahatan ekonomi, hukum, dan HAM di masa lalu - bebas mendirikan partai bahkan mencalonkan diri duduk di puncak kekuasaan, para konglomerat hitam bebas memasuki kebijakan-kebijakan pemerintah dan parlemen dan Pemilu pada akhirnya hanya menjadi ajang pesta pora elite yang memberikan mimpi dan janji – janji, tidak menjadi media guna mewujudkan kedaulatan rakyat.

Tidak ada komentar: