Kamis, 20 November 2008

menggusur kemiskinan bukan menggusur orang miskin


Dengan semangat dan perjuang mari kita bersama-sama mengentaskan kemiskinan saya sebagai calon anggota Dewan Perwakilan rakyat akan memperjuangkan aspirasi rakyat dan akan mencari akar rumput permasalahan kemiskinan yang sekarang dirasakan oleh sebagian b esar rakyat Indonesia.

Senin, 20 Oktober 2008

INDONESIA NEGERI PANCASILA
Oleh : SUPRIANTO.SL
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) 1945 terbentuk dengan karakter utamanya mengakui pluralitas dan kesetaraan antarwarga bangsa. Hal tersebut merupakan kesepakatan bangsa kita yang bersifat final. Oleh karenanya, NKRI tidak dapat diubah menjadi bentuk negara yang lain dan perubahan bentuk NKRI tidak akan difasilitasi oleh NKRI sendiri. Cita-cita yang mendasari berdirinya NKRI yang dirumuskan founding fathers telah membekali kita dengan aspek-aspek normatif negara bangsa yang menganut nilai-nilai yang sangat maju dan modern. Oleh sebab itu, tugas kita semua sebagai warga bangsa untuk mengimplementasikannya secara kongkret.
NKRI yang mengakui, menghormati keragaman dan kesetaraan adalah pilihan terbaik untuk mengantarkan masyarakat kita pada pencapaian kemajuan peradabannya. Seperti yang telah kita ketahui bahwa di Indonesia terdapat berbagai macam suku bangsa, adat istiadat hingga berbagai macam agama dan aliran kepercayaan. Dengan kondisi sosiokultur yang begitu heterogen dibutuhkan sebuah ideologi yang netral namun dapat mengayomi berbagai keragaman yang ada di Indonesia. Karena itu dipilihlah Pancasila sebagai dasar negara. Artinya Ideologi Pancasila merupakan dasar negara yang mengakui dan mengagungkan keberagaman dalam pemerintahan
Ideologi nasional sebagai perisai
Sejak berakhirnya perang dingin yang kental diwarnai persaingan ideologi antara blok Barat yang mempromosikan liberalisme-kapitalisme dan blok Timur yang mempromosikan komunisme-sosialisme, tata pergaulan dunia mengalami perubahan-perubahan yang mendasar. Beberapa kalangan mengatakan bahwa setelah berakhirnya perang dingin yang ditandai dengan bubarnya negara Uni Soviet dan runtuhnya tembok Berlin-di akhir dekade 1980-an dunia ini mengakhiri periode bipolar dan memasuki periode multipolar. Periode multipolar yang dimulai awal 1990-an yang kita alami selama hampir dua dekade, juga pada akhirnya disinyalir banyak pihak terutama para pengamat politik internasional, telah berakhir setelah Amerika Serikat di bawah pemerintahan Presiden George Bush memromosikan doktrin unilateralisme dalam menangani masalah internasional sebagai wujud dari konsepsi dunia unipolar yang ada di bawah pengaruhnya.
Apa yang diungkapkan Bush Senior terungkap dari pernyataan George W Bush dan para pembantunya. Mereka menyatakan bahwa perang terhadap Irak sebenarnya tidak sekedar terhadap Irak. Invasi ke Irak itu merupakan langkah pertama dalam strategi barunya, untuk memberikan "peringatan yang jelas" kepada negara-negara lain yang mendukung terorisme. Menurut mereka, strategi baru itu dapat diperluas untuk diberlakukan terhadap Suriah, Iran, Korea Utara, dan kelompok-kelompok teroris di seluruh dunia. Tragedi di Irak itu membuat banyak negara cemas. Karena, bisa jadi apa yang terjadi di Irak itu akan mendorong Presiden George W Bush dengan mudah mengerahkan tentaranya untuk memenuhi ambisinya menyingkirkan apa yang dianggap sebagai ancaman bagi Washington.
Bush bisa juga menegaskan bahwa AS harus menjadi kekuatan satu-satunya di dunia yang bertanggung jawab atas keamanan dunia. Itulah tekad AS yang lebih dari satu dasawarsa silam pernah diungkapkan oleh kolumnis politik Charles Krauthammer. Ia menyatakan akan munculnya apa yang ia sebut sebagai unipolar moment. Yakni, suatu periode di mana sebuah (negara) adikuasa, AS, berada paling depan dan berdiri di atas semua kekuatan dunia lainnya. Apa yang ditulis Charles Krauthmamer di Foreign Affairs ketika itu menjadi kenyataan ketika pada tanggal 17 September 2002, Gedung Putih mengeluarkan dokumen penting setebal 31 halaman. Dokumen itu berjudul The National Security Strategy of the United States of America. Isi utama dokumen itu adalah sebuah penegasan bahwa AS ingin menjadi polisi dunia dan penegasan AS akan bertindak unilateral dalam menghadapi ancaman teroris serta senjata pemusnah massal bila negara- negara lain tidak bersedia diajak serta. Ditegaskan pula, AS akan menggunakan kekuatan militernya untuk mengatur tatanan global. Inilah grand strategy baru AS yang dicanangkan sejak berakhirnya Perang Dingin.
Dapat disimpulkan bahwa era persaingan ideologis dalam dimensi global telah berakhir. Saat ini kita belum dapat membayangkan bahwa dalam waktu dekat akan muncul kembali persaingan ideologis yang keras yang meliputi seluruh wilayah dunia ini. Dunia sekarang ini cenderung masuk kembali ke arah persaingan antarbangsa dan negara, yang dimensi utamanya terletak pada bidang ekonomi karena setiap negara sedang berjuang untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi warga bangsanya.
Dalam era yang seperti ini, kedudukan ideologi nasional suatu negara akan berperan dalam mengembangkan kemampuan bersaing negara yang bersangkutan dengan negara lainnya. Pancasila sebagai ideologi memiliki karakter utama sebagai ideologi nasional. Ia adalah cara pandang dan metode bagi seluruh bangsa Indonesia untuk mencapai cita-citanya, yaitu masyarakat yang adil dan makmur. Pancasila adalah ideologi kebangsaan karena ia digali dan dirumuskan untuk kepentingan membangun negara bangsa Indonesia. Pancasila yang memberi pedoman dan pegangan bagi tercapainya persatuan dan kesatuan di kalangan warga bangsa dan membangun pertalian batin antara warga negara dengan tanah airnya. Pancasila sebagaimana ideologi manapun di dunia ini, adalah kerangka berfikir yang senantiasa memerlukan penyempurnaan. Karena tidak ada satu pun ideologi yang disusun dengan begitu sempurnanya sehingga cukup lengkap dan bersifat abadi untuk semua zaman, kondisi, dan situasi.
Setiap ideologi memerlukan hadirnya proses dialektika agar ia dapat mengembangkan dirinya dan tetap adaptif dengan perkembangan yang terjadi. Dalam hal ini, setiap warga negara Indonesia yang mencintai negara dan bangsa ini berhak ikut dalam proses merevitalisasi ideologi Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karenanya, prestasi bangsa kita akan menentukan posisi Pancasila di tengah percaturan ideologi dunia saat ini dan di masa mendatang.
Tantangan dan Rongrongan Terhadap Pancasila
Pancasila juga merupakan wujud dari konsensus nasional karena negara bangsa Indonesia ini adalah sebuah desain negara moderen yang disepakati oleh para pendiri negara Republik Indonesia dengan berdasarkan Pancasila. Dengan ideologi nasional yang mantap seluruh dinamika sosial, budaya, dan politik dapat diarahkan untuk menciptakan peluang positif bagi pertumbuhan kesejahteraan bangsa.
Namun demikian dalam praktik politik keseharian (day-to-day politics), politik seringkali bermakna kekuasaan yang serba elitis, daripada kekuasaan yang berwajah populis dan untuk kesejahteraan masyarakat. Politik identik dengan cara bagaimana kekuasaan diraih, dan dengan cara apa pun meskipun bertentangan dengan pandangan umum. Karena itulah, di samping aturan legal formal berupa konstitusi, politik berikut praktiknya perlu pula dibatasi dengan etika.
Selama masa Orde Baru, Pancasila mengalami masa-masa yang sulit ketika ia harus diperalat untuk tujuan-tujuan pelanggengan kekuasaan. Telah 32 tahun lebih kita hidup tidak menikmati bangsa yang "ber-Pancasila" yang kita jadikan sebagai pedoman berkehidupan, melainkan kita dipaksa untuk menghapal sila-sila Pancasila demi kekuasaan. Padahal seyogyanya Etika politik digunakan membatasi, meregulasi, melarang dan memerintahkan tindakan mana yang diperlukan dan mana yang dijauhi. Etika politik yang bersifat sangat umum dan dibangun melalui karakteristik masyarakat bersangkutan amat diperlukan untuk menampung tindakan-tindakan yang tidak diatur dalam aturan secara legal formal. Jadi, etika politik lebih bersifat konvensi dan berupa aturan-aturan moral. Namun pada kenyataannya Etika politik yang berpijak pada Pancasila (ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, permusyawaratan dan keadilan sosial) hancur karena politik identik dengan uang. Uang-lah yang menentukan segala-galanya. Ia menentukan berbagai kebijakan publik yang dirumuskan. Jadi, siapa tidak tahu bahwa di balik konfrontasi di Senayan yang berebut jabatan itu adalah sama (atau setara dengan) perebutan uang dan akses-aksesnya. Uang menjadi penentu segala- galanya dalam ruang publik. Hal ini sangat ironis karena mengakibatkan rakyat menjadi korban dari praktek politik yang ada. Perjuangan para elit hanya berdasar pada kepentingan mereka dan kelompoknya dengan mengatasnamakan legitimasi rakyat.
Sebenarnya, proses reformasi selama satu dekade belakangan ini adalah kesempatan emas yang harus dimanfaatkan secara optimal untuk merevitalisasi semangat dan cita-cita para pendiri negara kita untuk membangun negara Pancasila ini. Sayangnya, peluang untuk melakukan revitalisasi ideologi kebangsaan kita dalam era reformasi ini masih kurang dimanfaatkan. Dikalangan elit seakan terjadi de-Pancasilaisasi dimana pejabat-pejabat publik saat ini enggan membicarakan Pancasila. Kalaupun mereka menyebut Pancasila, itu hanya sporadis. Mereka takut kalau terlalu banyak membicarakan Pancasila nanti dianggap agennya Orde Baru. Pancasila telanjur tercemar karena kebijakan rezim Soeharto yang menjadikannya sebagai alat politik untuk mempertahankan status quo kekuasaannya.
Bahkan dalam proses reformasi selain sejumlah keberhasilan yang ada, terutama dalam bidang politik juga muncul ekses berupa melemahnya kesadaran hidup berbangsa. Manifestasinya muncul dalam bentuk gerakan separatisme, tidak diindahkannya konsensus nasional, pelaksanaan otonomi daerah yang menyuburkan etnosentrisme dan desentralisasi korupsi, demokratisasi yang dimanfaatkan untuk mengembangkan paham sektarian, dan munculnya kelompok-kelompok yang memromosikan secara terbuka ideologi di luar Pancasila.
Realitas kontemporer memperlihatkan bahwa tantangan terhadap ideologi Pancasila, baik kini maupun nanti, beberapa di antaranya telah tampak di permukaan. Di antaranya berupa berbagai gerakan separatis yang hendak memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Apa yang terjadi di Aceh, Maluku, dan Papua merupakan sebagian contoh di dalamnya. Penanganan yang tidak tepat dan tegas dalam menghadapi gerakan-gerakan tersebut akan menjadi ancaman serius bagi tetap eksisnya Pancasila di bumi Indonesia. Bahkan, bisa jadi akan mengakibatkan Indonesia tinggal sebuah nama sebagaimana halnya Yugoslavia dan Uni Soviet.
Patut disadari oleh semua warga bangsa bahwa keragaman bangsa ini adalah berkah dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Oleh sebab itu, semangat Bhinneka Tunggal Ika harus terus dikembangkan karena bangsa ini perlu hidup dalam keberagaman, kesetaraan, dan harmoni. Sayangnya, belum semua warga bangsa kita menerima keragaman sebagai berkah. Oleh karenanya, kita semua harus menolak adanya konsepsi hegemoni mayoritas yang melindungi minoritas karena konsep tersebut tidak sesuai dengan konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Tidak kalah seriusnya dengan tantangan dari dalam, Pancasila juga kini tengah dihadapkan dengan tantangan eskternal berskala besar berupa globalisasi. Globalisasi yang berbasiskan pada perkembangan teknologi informasi, komunikasi, dan transportasi, secara drastis telah mentransendensi batas-batas etnis bahkan bangsa. Jadilah Indonesia kini, tanpa bisa dihindari dan menghindari, menjadi bagian dari arus besar berbagai perubahan yang terjadi di dunia. Sekecil apa pun perubahan yang terjadi di belahan dunia lain akan langsung diketahui atau bahkan dirasakan akibatnya oleh Indonesia. Sebaliknya, sekecil apa pun peristiwa yang terjadi di Indonesia secara cepat akan menjadi bagian dari konsumsi informasi masyarakat dunia. Pengaruh dari globalisasi ini dengan demikian begitu cepat dan mendalam.
Tantangan terbesar yang perlu segera dijawab bangsa yang besar ini, khususnya oleh para pemegang kekuasaan dalam rangka menjaga kesaktian Pancasila saat ini lebih relevan dikaitkan dengan bagaimana nilai-nilai dasar Pancasila diaplikasikan dalam perilaku nyata kehidupan publik. Pancasila kita sekarang diuji bukan lagi sekadar untuk membendung aliran komunisme, memenangkan dari ancaman komunisme, melainkan diuji apakah ideologi ini bisa mengatasi kemiskinan, lemahnya kesejahteraan rakyat dan penegakan keadilan. Ketimpangan kesejahteraan antara kota dan desa, terlebih Jawa dan luar Jawa merupakan salah satu permasalahan besar yang harus segera dijawab oleh bangsa ini. Terasa sesak bagi kita semua bila mengingat bahwa di alam sejarah dewasa ini masih ada bagian dari bangsa ini yang secara mengenaskan masih hidup di alam prasejarah! Masalah penegakan keadilan juga menjadi masalah yang perlu mendapat perhatian serius para pengambil kebijakan.
Keadilan sosial yang telah lama digariskan para pendiri negeri ini sering menjadi kontraproduktif manakala hendak ditegakkan di kalangan para penguasa dan pemilik uang. Jadilah hingga sekarang ini pisau keadilan yang dimiliki bangsa ini masih merupakan pisau keadilan bermata ganda, tajam manakala diarahkan kepada rakyat kebanyakan, dan tumpul atau bahkan kehilangan ketajamannya sama sekali manakala dihadapkan dengan para pemegang kekuasaan atau pemilik sumber-sumber ekonomi. Terhadap kondisi yang ada Ahmad Yulden Erwin berpendapat bahwa kelima-lima Sila dalam Pancasila saling berhubungan. Jika muncul pertanyaan dalam masyarakat, mengapa rakyat belum sejahtera( sila ke-5) Karena rakyat belum dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan (sila ke-4). Mengapa Rakyat belum dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan? Karena belum ada persatuan (sila ke-3)? Mengapa belum ada persatuaan? Karena belum ada kemanusiaan yang adil dan beradab (sila ke-2). Mengapa belum ada kemanusiaan? Karena belum ada Ketuhanan Yang Maha Esa.
Pancasila tidak tergantikan
Menjadi sebuah petanyaan besar bagi bangsa Indonesia, sanggupkah Pancasila menjawab berbagai tantangan tersebut? Akankah Pancasila tetap eksis sebagai ideologi bangsa? Jawabannya tentu akan terpulang kepada bangsa Indonesia sendiri sebagai pemilik Pancasila. Namun demikian, kalaulah kemudian mencoba untuk mencari jawaban atas berbagai tantangan tersebut maka jawabannya adalah bahwa Pancasila akan sanggup menghadapi berbagai tantangan tersebut asalkan Pancasila benar-benar mampu diaplikasikan sebagai weltanschauung bangsa Indonesia karena nilai-nilai dasar Pancasila telah mencakup semuanya, kesadaraan akan nilai-nilai universal yg ada di Indonesia telah terangkum. Pancasila harus dibuat bermakna bagi kehidupan kita agar tidak hanya menjadi sekedar konsep yang sewaktu-waktu bisa dibuang. Karena itu kesadaran akan Pancasila harus muncul dari bawah. Nilai-nilai Dasar sangat penting untuk selalu dimaknai kembali, karena generasi di masa mendatang belum tentu bisa menghayati Pancasila sebagai perekat dasar yang mempersatukan Indonesia. Hal tersebut akan sulit sekali dicapai jika kita tidak berusaha memaknai kembali nilai-nilai luhur Pancasila.
Dalam hal ini perlu adanya upaya penanaman kembali kesadaran bangsa tentang eksistensi Pancasila sebagai ideologi bangsa. Penanaman kesadaran tentang keberadaan Pancasila sebagai ideologi bangsa mengandung pemahaman tentang adanya suatu proses pembangunan kembali kesadaran akan Pancasila sebagai identitas nasional. Upaya ini memiliki makna strategis manakala realitas menunjukkan bahwa dalam batas-batas tertentu telah terjadi proses pemudaran kesadaran tentang keberadaan Pancasila sebagai ideologi bangsa.
Yang utama dilakukan adalah Pancasila harus dipulihkan dulu nama baiknya. Karena Pancasila sudah telanjur dicap sebagai alat kekuasaan di masa Orde Baru. Padahal nilai-nilai Pancasila, khususnya seluruh sila yang ada itu justru semakin relevan sekarang ini. Selanjutnya, Pancasila hendaknya dijadikan public discource (wacana umum), yaitu menjadikan Pancasila sebagai pemikiran dan juga bagian masyarakat untuk ikut memberikan sumbangan di dalam pemaknaan Pancasila menjadi ideologi yang terbuka.
Untuk itu maka Semua fungsi-fungsi dan pelaksanaan Pancasila harus direvitalisasi atau dihidupkan kembali. Dalam konteks itulah, Pancasila sebagai faktor pemersatu harus direvitalisasi. Pancasila perlu direhabilitasi. Jika tidak, ada kemungkinan bangkitnya ideologi-ideologi lain termasuk yang berbasis keagamaan. Gejala meningkatnya pencarian untuk menerima religous-based ideology ini merupakan salah satu tendensi yang yang terlihat jelas di Indonesia pasca-Soeharto. Hal itu tampak dengan munculnya perda-perda berwarna syariah. Jangan sampai negara ini menjadi tempat yang tidak nyaman bagi kaum minoritas karena merasa hak-haknya terusik. Tegasnya Pancasila didekatkan kembali dengan cara menguraikannya sebagai bagian yang tak terpisahkan dari perjuangan rakyat Indonesia, termasuk menjelaskannya bahwa secara substansial Pancasila adalah merupakan jawaban yang tepat dan strategis atas keberagaman Indonesia, baik pada masa lalu, masa kini maupun masa yang akan datang.
Untuk melaksanakan semua itu maka perlu adanya kekonsistenan dari seluruh elemen bangsa, khususnya para pemimpin negeri ini untuk menjadikan Pancasila sebagai pedoman dalam berpikir dan bertindak. Janganlah sampai Pancasila ini sekadar wacana di atas mulut yang disampaikan secara berbusa-busa hingga menjadi basi sementara di lapangan penuh dengan perilaku hipokrit. Dengan demikian, penghayatan dan pengamalan sila-sila Pancasila dalam kehidupan sehari-hari sudah merupakan suatu conditio sine qua non bagi tetap tegaknya Pancasila sebagai ideologi bangsa.
Roeslan Abdulgani (1986) pernah mengingatkan bahwa , "Pancasila kita bukan sekadar berintikan nilai-nilai statis, tetapi juga jiwa dinamis. Kurang gunanya kita, hanya secara verbal mencintai kemerdekaan, kalau kita tidak berani melawan penjajahan, baik yang tradisional-kuno maupun yang neokolonial. Kurang gunanya kita, secara verbal saja menjunjung tinggi sila Ketuhanan Yang Mahaesa, kalau kita takut melawan kemusyrikan. Kurang guna kita, secara verbal saja mengagungkan sila Perikemanusiaan, kalau kita membiarkan merajalelanya situasi yang tidak manusiawi. Kurang faedahnya kita, secara verbal saja cinta Persatuan Indonesia, kalau kita membiarkan merajalelanya rasa nasionalisme dan patriotisme merosot dan membiarkan bangsa lain mengeksploitasikan kebodohan dan kelemahan rakyat kita. Kurang manfaatnya kita cinta sila Kerakyatan kalau kita membiarkan keluhan rakyat tersumbat. Kurang artinya kita ngobrol saja tentang sila Keadilan Sosial, kalau kita membiarkan kepincangan sosial ekonomis merajalela."
Selama 62 tahun sejak dicetuskan oleh Bung Karno, Pancasila telah mengalami pemaknaan dan dirasakan mulai ditinggalkan. Bahkan, sejak krisis moneter, ekonomi, dan politik mulai tahun 1997, Pancasila seolah semakin kehilangan relevansinya. Namun demikian Pancasila masih merupakan ideologi yang paling viable (dapat hidup terus). Artinya, mampu bertahan di tengah keragaman bangsa kita. Dan, itu sudah dibuktikan Pancasila sejak 1945 sampai sekarang. Belum ada kiranya muncul ideologi-ideologi lain yang bisa menggantikan Pancasila di Republik ini. (Penulis adalah Presidium Daerah Forum Komunikasi Mahasiswa Universitas Terbuka Jakarta)

Rabu, 08 Oktober 2008

UNTUK HARGA DIRI BANGSA

UNTUK HARGA DIRI BANGSA


Bahwa benar kemerdekaan yang berperi-kemanusiaan dan berperi-keadilan sebagai hak segala bangsa telah dikumandangkan pada 17 Agustus 1945.
Bahwa benar, demi melindungi segenap bangsa Indonesia serta seluruh Tumpah Darah Indonesia, memajukan kesejahteran umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, telah disusun Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan / Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Bahwa benar, sepanjang 63 tahun sejak merdeka, setiap rezim yang pernah berkuasa (Orde Lama, Orde Baru dan rezim Reformasi) dengan kelebihan dan kekuarangan masing-masing dari waktu ke waktu telah terus menerus menjauhkan rakyat dari apa yang dicita-citakan para pendiri bangsa, yang membuahkan Indonesia yang saat ini mengalami kekacauan ekonomi, korup, menuai hutang dan melahirkan kemiskinan.
Bahwa benar, kehilangan utama bangsa ini baik bagi rakyat terutama di mata dunia adalah “hilangnya harga diri bangsa”, dan tidak ada jalan mengatasi keterpurukan itu, selain mengajak semua pihak untuk bangkit dan mendudukkan kembali apa yang menjadi dasar kita berbangsa dan bagaimana serta oleh siapa bangsa ini layak di kelola kedepan.


LATAR BELAKANG
Tigapuluh dua tahun strategi pembangunan dan politik Orde Baru memaksakan budaya penyeragaman, melumpuhkan peran masyarakat adat dan kekayaan budaya yang dimiliki Indonesia. Hukum-hukum adat yang memiliki filosofi ‘budaya malu’ tersingkir, sementara penegakan hukum Negara secara sistematis diintervensi dan jadi lemah, tidak mampu melindungi rasa keadilan masyarakat. Dengan segala cara Orde Baru membutakan masyarakat dari seluruh sepak terjang pemerintah. Secara intelektual pemahaman rakyat tentang sejarahnya dikacaukan; hak-hak ekspresi rakyat direnggut hingga kehilangan peluang menjadi masyarakat cerdas yang visioner dan memiliki integritas. Orde Baru terus berkembang menjadi penguasa yang otoriter. Digunakan sebagai alat melucuti hak-hak politik rakyat dan mematikan demokrasi, militer diposisikan menjadi musuh rakyat. Tigapuluh dua tahun – kekuasaan Orde Baru pada akhirnya hanya membuahkan sebuah bangsa yang ambruk secara ekonomi, korup, menuai hutang dan melahirkan kemiskinan.
Reformasi 1998, sejatinya adalah ‘harapan perubahan’. Ia seharusnya diikuti langkah-langkah strategis mengevaluasi dan memperbaiki semua kerusakan yang dilakukan Orde Baru, merumuskan konsep pengelolaan negara yang bersih yang berpegang pada UUD 1945 dan ideologi bangsa, Pancasila. Demokrasi sebagai sumbangan terbesar reformasi harusnya dijadikan sebagai alat menghentikan korupsi dan politik uang, mengangkat kembali budaya-budaya lokal, mengembalikan karakter gotong royong dan sifat solider masyarakat. Dan kalau sekarang, setelah 10 tahun reformasi bangsa ini justru semakin bangkrut secara ekonomi, rakyat semakin kehilangan kedaulatan, goyah secara persatuan, terancam secara budaya, miskin dan rentan chaos sosial, itu tentu karena ada kesalahan sangat substansial telah dilakukan para penyelenggara negara era reformasi dalam menyikapi reformasi, terutama dalam hal pembangunan demokrasi yang hanya fokus pada demokrasi politik, tapi tidak sama sekali menyentuh demokrasi ekonomi, sosial dan budaya.
Tidak adanya kesungguhan mengusut/menghukum para pelaku kejahatan (ekonomi, politik dan kemanusiaan) di masa Orde Baru, membuat mereka yang diduga terlibat kejahatan justru ikut berperan dalam pengelolaan negara dan itulah yang membuat upaya mengevaluasi kebijakan-kebijakan strategi ekonomi Orde Baru menjadi nihil. Ditekan oleh kekuatan eksternal, Negara justeru meneruskan kebijakan ekonomi Orde Baru yang menghamba pada kekuatan asing, mendewakan pertumbuhan ekonomi melalui investasi modal, menempatkan peran pasar di atas peran negara dan masyarakat, menjadikan korporasi lebih penting dari sektor publik, sebuah kebijakan yang mengabaikan aspek pemerataan kesejahteraan, yang mendudukkan mayoritas pengusaha Indonesia menjadi pengusaha kelas dua sekaligus menyudutkan rakyat secara keseluruhan. Pilihan atas kebijakan ekonomi yang akrab dengan kekuatan modal besar itu terus berlanjut hingga empat pemerintahan era reformasi. Untuk memenuhi pilihan itu sejumlah undang-undang disusun, seperti UU Migas 22/2001, UU Kelistrikan, UU Pendidikan / BUMN, UU Perbankan, UU Sumber Daya Air, dan diikuti dengan dicabutnya sejumlah subsidi bagi kepentingan hajat hidup orang banyak, termasuk subsidi BBM dan pangan. Aset negara dalam bentuk BUMN diprivatisasi dan menguntungkan korporasi asing, baik keuntungan finansial, termasuk penguasaan instalasi strategis seperti telekomunikasi, perbankan, dan transportasi. Sebuah kerangka kebijakan yang sudah tentu akan menyudutkan rakyat dan menghadapkan bangsa Indonesia pada berbagai persoalan yang menyesakkan dada. Mulai dari kekurangan pangan, gizi buruk, meningkatnya angka kematian ibu & anak, kelangkaan migas, kekerasan, korupsi, kriminalitas. Para pemilik tanah dihadapkan pada negosiasi tak seimbang dengan investor jalan tol yang didukung aparat dan calo-calo tanah. Pengusaha kecil/menengah, industri kreatif dan industri rumah tangga tersudut oleh pasar bebas yang memungkinkan impor barang dalam skala masif. Permainan spekulan pasar dunia mendorong kenaikan harga bahan baku pangan, membuat biaya produksi para pengusaha gurem membengkak. Kegandrungan Pemerintah mendapatkan komoditas pertanian dari pasar internasional ketimbang melakukan pemberdayaan sektor pertanian membuat petani semakin tersisih, sementara nelayan yang menjerit karena harga BBM yang tak seimbang dengan penghasilan, mendorong mereka memilih menjadi buruh industri di kota-kota besar atau menjadi buruh di negeri orang.
Derasnya arus modal asing dalam perekonomian nasional juga melahirkan gaya hidup hedonistik dan cara pandang materialistik. Di saat hukum tunduk pada kekuatan modal, kemiskinan masif, budaya menghamba pada kekuatan uang mewabah, perilaku korup yang sudah terlanjur membudaya pun mustahil bisa dibendung. Kegiatan ekonomi disandera 30% biaya siluman. Suap di lembaga-lembaga penegak keadilan menjadi hal biasa, membuat rakyat semakin apatis, sementara narkoba menghantui kehidupan setiap keluarga. Tahun 2007, Transparency Internasional mencatat, indeks persepi korupsi Indonesia berada di urutan 143 dari 180 negara di dunia. Dalam situasi seburuk itu kualitas generasi mendatang menjadi pertaruhan. Masalah pendidikan yang dikonsep dalam kerangka proyek, tidak transparan dan tidak berpijak pada ide melahirkan anak-anak muda yang cerdas, kreatif, visioner dan punya integritas menjadi persoalan sangat mendasar. Masalah kesehatan menggangga, angka bunuh diri atau kasus orang tua membunuh anak sendiri meningkat. Di wilayah kecil seperti di Kabupaten Banyumas misalnya, selama Januari hingga April 2008, tercatat rakyat miskin yang melakukan bunuh diri mencapai 28 orang.
Kegagalan Negara memahami makna kebudayaan, memahaminya hanya sebagai benda, tari-tarian, gamelan atau baca puisi, merupakan indikator kuat gagalnya Negara memerdekakan rakyat dari belenggu ketidakadilan ekonomi, sosial budaya dan ekonomi yang sekaligus menyebabkan terjadinya pergeseran budaya, hilangnya nilai–nilai moral, harga diri, harkat dan martabat bangsa. Kebenaran menjadi sesuatu yang sangat langka. Tatanan ideal yang dicita - citakan para pendiri bangsa bergeser dari akar (substansi) yang seharusnya, tercerabut dari tempatnya. Agama, media massa, dunia kampus yang seharusnya berdiri sebagai tonggak penjaga nilai, berubah menjadi semata komoditas politik, ekonomi dan menjadi wahana selebritas. Tempat-tempat ibadah tak lagi menjadi tempat memperoleh kedamaian. Secara umum masyarakat menyikapi acuh tak acuh terhadap moral, namun sekaligus emosional. Penghormatan pada perbedaan yang menjadi salah satu prinsip agama pudar. Stabilitas nasional serta solidaritas berbangsa terancam. Kemajuaan teknologi komunikasi dan media massa yang di satu sisi kita butuhkan untuk kemajuan bangsa, justru mempercepat proses disintegrasi dan merangsang bermunculannya kecurigaan antar kaum. Masyarakat tak lagi menyadari perubahan perilakunya yang telah tercerabut dari akar budayanya sendiri. Budaya instan, konsumtif, budaya perdukunan, budaya saling curiga dan budaya kekerasan seolah menjadi ciri masyarakat kita dan korban terdepan dari seluruh perubahan perilaku itu adalah kaum perempuan dan anak-anak.
Seluruh kenyataan diatas secara tragis telah menabrak kepatutan tatanan politik dan menodai demokrasi. Demokrasi yang diperjuangkan dengan susah payah itu pada akhirnya tidak lebih hanya menjadi alat legitimasi kepentingan – kepentingan pemodal kuat dan kekuatan politik masa lalu yang dulu menyengsarakan rakyat dan hanya menghasilkan negosiasi politik (uang) yang berimbas pada pelemahan hukum dan keadilan. Atas nama demokrasi orang-orang yang diduga terlibat dalam kejahatan ekonomi, hukum, dan HAM di masa lalu - bebas mendirikan partai bahkan mencalonkan diri duduk di puncak kekuasaan, para konglomerat hitam bebas memasuki kebijakan-kebijakan pemerintah dan parlemen dan Pemilu pada akhirnya hanya menjadi ajang pesta pora elite yang memberikan mimpi dan janji – janji, tidak menjadi media guna mewujudkan kedaulatan rakyat.

Jumat, 26 September 2008

Sahabat sejati yang selalu dapat memotivasi dan selalu memberi dukungan.

Senin, 22 September 2008

show

show tunggal di megamendung -Jawa Barat

NAZWA ADALAH ANAK PERMATA HATIKU



Ini dalah photo anak saya yang membuat saya kuat dan selalu berjuang dalam keseharian saya.